Senin, 23 Mei 2011


Kisah ini dimulai ketika malam mulai menebar gelapnya.

Telinga ini tak henti – hentinya menangkap suara – suara yang muncul di sekitarku. Detak keyboard di depan, jangkrik yang saling bersautan diluar jendela, supir truk yang tak lelah memacu kendaraanya agar segera sampai di tempat tujuan, sebelum anak istrinya tak bisa makan enak karena gaji yang dipotong.
Aku membayangkan sebuah kehidupan yang lain. Kehidupan dimana aku tidak diberikan segala sesuatu yang aku peroleh sekarang ini. Pendidikan, teman – teman, hobi, bahkan sekedar ruang untuk beristirahat. Aku membayangkan sebagai anak yang terlahir di jalanan. Tanpa atap untuk tidur, tanpa nasi untuk dimakan, tanpa kawan untuk hanya sekedar bercengkrama sebelum aku kembali terlelap.
Kira – kira, apa yang akan aku lakukan jika aku menjadi anak jalanan? Tidur sepanjang hari? Giat mengamen? Atau apa yang sekiranya dapat aku lakukan untuk dapat menyambung hidup. Terkadang sejenak terpikir, lebih baik rasanya aku menjadi seorang gelandangan daripada hidup terkekang seperti ini. Namun segera pikiran itu dihapus, oleh sesosok bayangan yang menamai dirinya takut. Segera setelah ia menghapus angan ku untuk menjadi seorang gelandangan, ia menumpahkan sekarung kesenangan – kesenangan yang akan hilang bila aku menjadi seorang gelandangan. Sungguh ironis. Apakah mimpi seorang anak manusia, harus lah berupa hal – hal yang menyenangkan? Harus berupa kesuksesan menurut kebanyakan orang? Apakah arti kesuksesan menurut aku ini sama dengan yang terpikir oleh orang lain?
Siapakah sosok takut ini, yang membuatku berhenti berangan – angan ?
Puas dengan menebar rasa kehilangan, datanglah sang takut, membawa dua buah botol kepadaku. Botol pertama berisi kehidupanku yang sekarang aku jalani ini. Botol kedua berisi bayangan ketika aku menjadi seorang gelandangan. Dengan tipu muslihatnya, ia mampu untuk menjaga ku agar tetap berada di jalan ini, tanpa harus berusaha untuk menjadi seorang gelandangan.
Detik demi detik berlalu, dan aku tetap pada angan – angan ku jika aku menjadi seorang gelandangan. Aku berhasil menyingkirkan rasa takut, dan kemudian merasa amat bersemangat untuk menjadi seorang gelandangan.
Karena aku tidak tau, apa yang mereka rasakan ketika menjadi seorang gelandangan, maka aku membuat asumsi – asumsi sendiri, berdasarkan apa yang aku lihat dan aku baca.
Esok hari, aku akan bangun sebagai seorang gelandangan. Saat membuka mata, aku menyadari bahwa aku masih sampai dengan saat itu, tidak punya apa – apa. Tidak ada tempat untuk mandi, tidak ada ruang untuk makan, bahkan tidak ada sepotong roti di meja untuk sekedar mengisi perut yang mulai mendendangkan lagu keroncong era 90-an. Kulangkahkan kaki ku menuju persimpangan terdekat untuk segera mengamen atau sekedar melipat kakiku dalam celana jeans, untuk segera mengemis pada pengendara motor yang berhenti di depanku. Nah, kalau uangku sudah cukup, aku akan membeli sebatang rokok dan sekaleng lem aibon untuk kuhisap hari ini. Baru lah hasil sore nanti kupakai untuk makan, itupun kalau aku tidak bertemu dengan preman – preman jalanan, yang berlagak seperti penguasa jalanan. Itulah hari – hari ku bila aku menjadi seorang gelandangan.
Imajinasi ku terhenti sejenak, ketika ide – ide cerita hilang dari kepalaku. Kuambil sebatang rokok yang kubeli sore tadi di warung sebelah, dengan sebatang korek kayu kunyalakan dan seperti biasa kuhisap perlahan. Terdengar dari kamar sebelah, kawanku keluar kamar dan kemudian menguncinya, untuk bergegas pergi ke peraduan di malam hari, kedai kopi.
Bahagiakah seorang gelandangan dengan hidup yang dijalaninya? Apakah mereka iri melihat mobil – mobil mewah yang setiap saat melintas didepannya? Atau mereka hanya pasrah menjalani hidup untuk kemudian menanti ajal yang entah kapan menjemputnya?
Bandingkan seorang gelandangan dengan seorang eksekutif muda. Lagi – lagi aku harus membayangkan bagaimana rasanya menjadi seorang eksekutif muda, karena aku ini masih seorang mahasiswa tingkat 5 yang entah kapan mampu menyelesaikan pendidikanku.
Seorang eksekutif muda, pagi hari sarapan terhidang di meja, atau bahkan tak sempat sarapan karena nada pengingat di telepon genggam sudah memanggil untuk berangkat kerja. Berkemeja,tak lupa luaran jas, sebagai symbol orang yang harus dihormati di kantor.”hari ini aku akan menaklukan tender baru”, pikir ku. Pikiran segar, menemani ku berangkat ke kantor, dengan diantar oleh mobil mewah yang terparkir di halaman rumah ku. Tiga puluh menit kemudian, aku sudah mengoceh di dalam mobil, saat terjebak macet di jalan raya. Klakson segera kusuarakan, saat seorang gelandangan mencoba mendekati kaca depan mobilku untuk sekedar membersihkannya dengan kemoceng lusuh nan dekil. Aku harus menjaga mobilku tetap bersih! Apa kata karyawanku nanti kalau sampai mobilku terlihat berdebu.
Belum sempat aku masuk ke ruanganku, sekretaris mendatangiku dengan setelah berlari, memberikan kabar bahwa tender dibatalkan karena aku terlambat datang ke kantor. Ya, macet di jalanan membuat ku tiba di kantor pukul sembilan tiga puluh. Maka sisa hari itu, aku gunakan untuk menggerutu, sembari menghabiskan waktu di kantor, menunggu bel pulang kerja.
Rasanya menjadi seorang eksmud memang berat, tetapi menghasilkan. Lebih enak jadi gelandangan, tidak takut kehilangan ini dan itu, tidak perlu pusing untuk bermimpi punya itu atau ini. Rasanya jalan hidup manusia hanya dua, miskin atau kaya. Susah atau senang.
Aku tidak ingin menjadi keduanya. Aku hanya ingin menjadi seseorang yang bisa menikmati hari demi hari dalam kegembiraan, pun ketika aku dalam suasana sedih. Aku ingin setiap detik yang aku miliki, adalah anugrah yang aku terima. Bukan Cuma – Cuma, karena aku akan menggunakan setiap detik itu, untuk membantu orang – orang disekitar ku, agar mereka bisa tersenyum menjalani hidup. Agar kami bisa tersenyum bersama.
Apa yang akan kamu lakukan bila waktu hidupmu tinggal satu hari lagi? Jawabku, “aku akan membuat setiap detiknya begitu berharga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar